Perkara emisi karbon PLTU memang telah menjadi isu global yang harus diperhatikan semua pihak. Secara teori bukan hanya PLTU yang menjadi pencetus emisi karbon di muka bumi. Lalu lintas kendaraan setiap hari, limbah makanan rumah tangga dan industri kuliner yang tidak dikelola dengan baik juga menjadi sumber emisi karbon tinggi.
Polusi dari lalu lalang kendaraan dan limbah hasil produksi baik industri maupun rumah tangga menjadi penyumbang terbesar emisi. Berbagai pihak berusaha menekan angka emisi ini dengan berbagai cara seperti penggunaan bahan bakar ramah lingkungan, pengelolaan limbah, termasuk penggunaan sistem rekayasa demi mengurangi polusi.
Salah satu industri penyumbang emisi karbon terbesar adalah sisa pembakaran batu bara pada PLTU dan sejumlah pabrik logam. Satu PLTU yang menghasilkan ribuan megawatt listrik tanpa sistem pengolahan limbah yang tepat menyisakan udara dengan kontaminasi Nitrogen Oksida dan Nitrogen Dioksida yang membahayakan pernapasan makhluk hidup.
Emisi Karbon dan Efek Rumah Kaca
Kegiatan manusia sehari-hari menghasilkan panas yang naik ke lapisan atmosfer, kemudian dari atmosfer panas tersebut memantul kembali ke bumi. Kejadian ini disebut sebagai efek rumah kaca, di mana panas tidak terurai di atmosfer dan menambah suhu permukaan bumi secara berkala.
Gas dalam efek rumah kaca bisa disebabkan oleh emisi karbon PLTU yang terdiri dari karbon dioksida, metana, dan nitrogen oksida. Sebesar 80% emisi gas terdiri dari karbon dioksida, sisanya berupa metana, NO, dan gas lain. Produksi dan konsumsi listrik menjadi penyumbang terbesar emisi karbon karena bahan bakarnya adalah batu bara, demikian dilansir validnews.
Pembakaran batu bara jika tidak dikendalikan menghasilkan limbah baik polusi udara maupun tanah yang dapat merusak masa depan bumi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya penurunan emisi dengan menerapkan sistem pembakaran yang lebih ramah lingkungan.
Sejak tahun 2015 Indonesia dan banyak negara maju lain telah sepakat untuk menandatangani perjanjian Paris, di mana para pemimpin negara tersebut sepakat menurunkan emisi gas dan memastikan suhu global tidak naik lebih dari 1.5 derajat Celcius. Sebagai konsekuensi, berbagai program disusun termasuk untuk menurunkan emisi karbon PLTU.
Dampak Emisi Karbon PLTU
Selain berpotensi merusak sistem pernapasan dan memunculkan berbagai penyakit bagi makhluk hidup, emisi karbon PLTU yang tinggi dapat merusak sejumlah keseimbangan alam. Di antaranya adalah cuaca menjadi ekstrim, suhu bumi meningkat terutama di kawasan padat penduduk, es di kutub mencair sehingga permukaan laut meningkat.
Peningkatan permukaan laut dapat menimbulkan erosi di bibir pantai dan mengurangi luas daratan secara simultan. Jika terus dibiarkan, kondisi ini tentu mengancam ekosistem manusia di seluruh permukaan bumi. Cuaca ekstrim dapat menimbulkan bencana alam sepeti banjir pada musim hujan dan kebakaran hutan pada musim kemarau.
Kebakaran hutan bisa dengan mudah terjadi terutama di lahan gambut. Biasanya disebabkan cuaca panas yang menimbulkan percikan api di salah satu titik. Hasilnya, api dengan mudah menyebar ke kawasan lain sesuai dengan arah angin dan kondisi sekitar percikan. Sementara pembakaran batu bara di pabrik menghasilkan emisi karbon setiap hari.
Emisi karbon PLTU kini diupayakan terus menurun dengan penerapan teknologi SCR dan low Nox Burner. Kedua teknologi tersebut saling mendukung agar daya konsumsi batu bara menurun, tekanan yang dihasilkan tetap maksimal dan asap tidak dilepas ke udara bebas kecuali kadar polusi sudah menjadi sangat rendah.